Senin, 07 Desember 2009

Bebaskan Prita


Bebaskan Prita Demi Hukum
Oleh :Judith M Lubis
Awalnya Prita Mulyasari digugat oleh Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang, Banten. Dia dikenai Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik oleh penyidik kepolisian. Namun sesampainya di kejaksaan, pasal yang disangkakan terhadap Prita Mulyasari, ditambah dengan Pasal 27 jo Pasal 45 UU ITE dengan ancaman penjara selama enam tahun.
Atas dasar itulah, Prita Mulyasari ditahan. Padahal seharusnya jika kejaksaan menyatakan penggunaan pasal UU ITE itu dari kepolisian, maka jaksa memeriksa terlebih dahulu pasal yang disangkakan tersebut.
Saya melihat ada beberapa hal yang tidak dilakukan oleh aparat kejaksaan saat menerapkan pasal 27 kepada prita padahal UU ITE sudah mengatur proses penyidikan hingga penahanan untuk mencegah represifnya aparat penegak hukum yang kerap terjadi dlm penerapan KUHP.
UU ITE ini justru sangat baik untuk melindungi para blogger jika APH menerapkannya dengan benar. Pasal 43 UU ITE mengatur semua tahapan penyidikan hingga penahanan yang mewajibkan meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali duapuluh empat jam. ( pasal 43 ayat 6 ) Pasal 43 ayat 5 e. Melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 43 h. Dalam penyerahan berkas ke kejaksaan harusnya ada BAP dari kepolisian tentang saksi ahli. Jaksa menerapkan pasal 27 UU ITE tanpa menggunakan saksi ahli terlebih dahulu, tanpa ada surat penetapan hakim, tanpa melakukan forensik pada komputer milik Prita, maka itu merupakan sesuatu kesalahan yang sangat fatal dari sisi yuridis karena proses penyidikan tersebut tercantum dalam UU ITE.
Jadi tanpa proses penyidikan yang sesuai dengan UU itu sendiri, bagaimana bisa dikatakan menghasilkan keputusan hakim yang legitimasinya diakui? Proses law enforcement yang salah sejak awal apakah bisa menghasilkan keputusan bagi Hakim secara adil?
Jaksa Agung Hendarmana Supandji sudah memberikan sanksi kepada Mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Banten, Dondy K Soedirman, Kepala Seksi Pra Penuntutan (Kasie Pratut) Kejati Banten dan Jaksa Peneliti di Kejati Banten.
Seharus hakim di Pengadilan Tinggi Banten bisa melihat fakta-fakta di atas dengan menggunakan logika dan hati nurani bukan sekadar arogansi institusi semata tanpa mengindahkan fakta-fakta yang ada.
Terlepas dari kesalahan yang dilakukan oleh prita tetapi jangan membuat seseorang menjadi korban arogansi institusi hukum.
Jika memang prita salah, hukumlah ia sesuai dengan yang diperbuat tetapi janganlah dia dituntut dengan satu pasal dalam UU ITE tetapi saat aparat penegak hukum salah menerapkannya tetap berdampak pada korban tanpa pengadilan tinggi mau melihat fakta tersebut.
Lalu d imana letak keadikan buat rakyat?
Terlebih Depkominfo sendiri belum menyelesaikan PP di UU ITE seharusnya hakim di Pengadilan Tinggi sebelum memutuskan prita bersalah meminta pendapat depkominfo sebagai lembaga yang mengeluarkan UU ITE tersebut.
Bebaskan prita demi hukum karena indonesia negara hukum. Proses hukum yang salah kaprah tidak menghasilkan keputusan yang adil bagi rakyat.
Semoga kasus prita ini membuka mata para pejabat dinegeri ini bahwa satu produk hukum yang sejatinya hendak melindungi kepentingan masyarakat justru bisa menjadi bumerang bagi masyarakat ketika minimnya sosialisasi kepada aparat penegak hukum , jaksa dan hakim yang sebagai pelaksana.
Jika pemerintah tak mau mengakui kesalahannya, maka kita tinggal menunggu lahirnya Prita-Prita lain di negeri ini. (koinkeadilan.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar